Nona dari Watohari - Paji Hajju
"Di bawah teduhnya rembulan, bibirmu sesekali mekar, pijar dan binar membawa seluruh anganku. Lalu pada matamu yang memikat, kata mengeja rindu sendiri di sudut baca yang temaram."
Oleh : Syarwan Edy
Awan bergulung bergerak di langit luas, membuai angan. Angin bertiup perlahan, tanpa kata dalam diam. Dari ranting bidara, rindu menggantung harapan lebih tabah dari hujan. Pada senja yang temaram, bayangmu kerap hadir dan diserap akar pohon lontar. Resah dalam hatiku selalu menggebu isyarat rindu gerimis di bulan November. Sementara, rindu tak lekang oleh waktu ataupun ia menua dalam bahasa sejuk tanpa rasa iba dalam dada membasuh tanah. Indah terukir dalam ingatan, menghapus memori usang.
Tiba-tiba ada seorang perempuan seusia senja menghampiriku dan memanggilku. Hari itu, tepatnya hari jumat sore ketika aku selesai merayakan temu kangen dengan teman-teman. Dan perempuan ini masih kukenal setengah-setengah. Hehe. Dia sederhana tapi begitu istimewa. Dari dia, aku menemukan kembali arti 'bahagia,' saat-saat rapuh sekalipun serta tempat pelarian dari gelapnya dunia ataupun gelak tawa penuh rintihan setiap yang datang.
"Hai tunggu sebentar, kamu Paji kan?" Teriakannya manja memanggilku, dan akupun berhenti dan melihat ke arahnya.
"Iya kenapa? Benar, aku Paji. Eh tunggu, kamu inikan Senjani! Ucapku kembali" sesekali gelagatmu mengusik hayalku.
Mata merekah ketika senyum tipisnya terantuk di antara penggalan desir ombak sawu. Rona semesta menilik syahdu pada barisan kata-katanya yang menenggelamkan. Senandung doa menumpahkan diksi dengan harapan penuh tiap kedipannya. Hingga waktu itu tiba, semoga menyatukan asa serta mengguyur raga langkah demi langkah, tapak demi tapak hingga lekas, membekas.
Di ujung perbincangan dia berucap: "Sehat-sehat yah, semoga kita bisa bertemu lagi tuk memecahkan celengan rindu." Tawanya sayu pada semilir hening.
Kuterdiam sejenak, lalu mengeluarkan suara: "Kamu juga yah, semoga hal yang telah direncanakan cepat terkabulkan." Dan sebelum beranjak, aku memberanikan diri berbisik: "Rindu tidak bisa diatur, ia meniti setiap detik." Akhirnya aku dan dia saling pulang ke rumah masing-masing memeluk keraguan tiap laman cerita tentang duka, derita mendenyutkan pedih, perih.
Setelah pertemuan dan perbincangan hangat itu. Aku mencoba memaknai dari setiap tatap yang kau beri. Nyaris tiada dusta menyusuri waktu. Rindu berpadu syahdu, teleponan, chattingan setiap musim, bercakap mesra dan berbagi rasa saling merayu setia. Merindu, mengeja diamnya lamunan. Kita laksana sepasang sendal jepit yang tidak boleh putus sampai kita tiba pada tujuan yang kita berdua inginkan. Duduk dan terus saja meratap pasrah akan takdir Tuhan.
Entah mengapa senyuman, lesung pipi, binar bola mata, wangi rambut, aroma bau badan serta manjamu ku damba selalu dan tak mau hilang dari pelupuk mataku. Ini sederhana, namun sungguh berharga. Arumi tubuhmu menyiksa kalbu, mendera rasa ingin berada di dekapanmu selalu. Hai nona Watohari, arti hadirmu begitu berarti untukku. Semoga hadirmu, tidak akan ada masanya untuk menghilang dan menorehkan lara.
Dalam bayangku, tepat Ketika hujan turun: Kau dengan jelitanya mengenakan daster berwarna hitam bermotif Shasta daisy kesukaanmu. Dan aku dengan santainya membetot sarung Sapphire motif lilin nan telanjang dada. Dari depan teras rumah kehangatan, aku menyuruhmu membuatkan segelas kopi untuk kuseduh, kepulan asap rokok mengudara, dan sembari membaca artikel-artikel tentang maraknya korupsi serta sexual harassment di tiap-tiap perguruan tinggi. Kita berkisah, mencumbu di setiap rintiknya rupa anandya. Tertitip daksa pada nabastala. Aku menikmati kopi dan rokokku, kau menghela nafas menghirup bau tanah pertama kali hujan turun membasahi tanah yang kering di bumi Lamaholot, Solor Watohari yang mungkin masih saja perawan ini. Sesekali.
Di antara doa, sumpah serapah, janji-janji manis para pemangku kepentingan, barisan politisi sibuk berkoalisi dan langkah dalam hembusan nafas romansa hingga mentari memberi hangat jiwa. Kukagumi kau selalu. Kau adalah alasanku untuk tersenyum sepanjang hari. Nona dari Watohari, biarkan jejakmu tetap tinggal di hatiku yang akan selalu menyatu dengan aliran darahku.
"Jangan ada lagi air mata" lirihku. Ia menggema di dinding telephon saat kita bertamasya dan mempercundangi bahasa penyesalan dari sebuah pengandaian.
Ijinkan aku menjadi bagian dari mimpi indahmu, penghibur sepimu yang ranum, penyelimut dahaga pelikmu di tengah derasnya hujan mencari kehangatan pun jadi payung perindumu saat terik. Aku siap. Dan kau menjelma dalam baris-baris doaku. Mata ini begitu terkagum dan tak mampu menampik. Akhir kata; bagiku, kau adalah lentera yang kuharap pijarnya tak pernah padam di pelupuk mataku. Aku mencintaimu, menujumu dengan sungguh tanpa rasa ragu.
-Bumi patah hati, 8 April 2023-
@paji_hajju || @kamar_paji
Komentar
Posting Komentar